Jumat, 25 Oktober 2013

PERMASALAHAN PENDUDUK DAN PERTANIAN DI SINGAPURA



MASALAH KEPENDUDUKAN DI SINGAPURA
Masalah kependudukan semakin menjadi perhatian serius di Singapura. Sebagai negara kecil dengan luas hanya 700 kilometer persegi dan berpenduduk 5,18 juta jiwa, perekonomian Singapura mulai booming pasca tahun 1965. Singapura bahkan menjadi Macan Asia. Namun setelah mengalami pertumbuhan pesat, Singapura kini mulai menghadapi kemerosotan akibat masalah kependudukan. Singapura semula menikmati yang disebut sebagai demographic devidend, yaitu pertumbuhan pesat ketika pertumbuhan penduduk melambat. Mulai dari tahun 1990-an, Singapura terus mengatur kebijakan untuk mengendalikan periode "keberuntungan demografi" ini . Perhatian yang paling utama yaitu pada hubungan antara struktur populasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kemajuan ekonomi berhubungan erat dengan kondisi demografi Singapura. Singapura menikmati keberuntungan karena kondisi demografi pada kurun akhir 1970-an sampai awal 1990-an. Pada pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, angka kelahiran menurun sampai 2,1. Namun, jumlah penduduk masih bertambah karena banyaknya angkatan muda. Tetapi pada awal 1990-an, kondisi ini berbalik. Tekanan penduduk usia lanjut semakin besar terhadap demografi Singapura. 
Seperti negara-negara yang mengalami masalah kependudukan lainnya, Singapura juga menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja dan beban penduduk usia lanjut. Demografi Singapura mengalami perubahan struktur penduduk tenaga kerja. Cara yang diambil Singapura untuk memacu pertumbuhan penduduk tidak berhasil, sehingga pemerintah Singapura mengambil cara imigrasi selektif. Basis populasi Singapura tidak besar, sehingga setiap tahun hanya memerlukan 3 sampai 4 ribu imigran teknis. Dengan demikian, Singapura masih bisa memperpanjang periode "keberuntungan demografi". Ada dua cara untuk menyelesaikan masalah pekerja asing. Pertama adalah pekerja sementara, misalnya buruh konstruksi atau pembantu rumah tangga dengan kontrak selama 2-3 tahun, biasanya tidak menetap lama di Singapura. Yang kedua adalah imigran teknis, dengan pendidikan relatif tinggi atau memiliki keterampilan spesial. Kategori pekerja ini dapat menetap permanen, dan akan menjadi jalur utama untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan dan penuaan demografi. Kebijakan imigrasi selektif sangat efektif. Kebijakan ini berhasil menyelesaikan masalah kekurangan tenaga kerja di Singapura. Sementara itu, imigran teknis usia muda telah membangkitkan pertumbuhan Singapura. Masalah tenaga kerja telah mendorong pertumbuhan ekonomi Singapura, sedangkan pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan daya saing nasional. Apalagi, Singapura menggunakan bahasa Inggris, sehingga Singapura menarik banyak tenaga terampil dari seluruh dunia. Dalam evaluasi daya saing Asia yang terbaru, Singapura menempati urutan pertama, naik dari peringkat ke-4 tahun lalu. Namun pertumbuhan ekonomi yang cepat belum melegakan hati pemimpin Singapura. Kebanjiran imigran baru telah membawa sejumlah masalah sosial. Selama pemilu Singapura pada Mei 2011, perolehan suara Partai Aksi Rakyat yang berkuasa menurun sampai titik terendah dalam sejarah. Pertumbuhan penduduk Singapura terlalu lamban, pemerintah perlu menyelesaikan masalah kekurangan tenaga kerja sejumlah 30-60 ribu setiap tahun, namun kebanjiran imigran mengakibatkan kenaikan harga rumah dan kemacetan lalu lintas. Warga biasa menganggap dirinya orang Singapura, namun Singapura seolah-olah bukan tanah air mereka lagi. Sementara itu, untuk stabilitas politik dan sosial, Singapura menganjurkan para perempuan kembali bekerja setelah anaknya dewasa. Pemerintah juga mendorong orang lanjut usia untuk menunda waktu pensiun. Perusahaan juga diimbau untuk tidak memutuskan hubungan kerja dengan pekerja yang berusia 40-50 tahun yang kurang berpendidikan. Pemerintah juga menyediakan tunjangan pelatihan demi mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing. Perubahan kebijakan itu untuk sementara mengatasi keluhan warga Singapura karena persaingan tenaga kerja asing. Tidak ada satu pun cara yang selalu mujarab, sehingga mereka perlu menemukan keseimbangan dalam kestabilan sosial dan politik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Solusi lainnya adalah melambatkan laju pertumbuhan ekonomi, mengurangi impor tenaga kerja, dan mengalihkan bisnis ke luar negeri.
                   
 SISTEM PERTANIAN DI SINGAPURA
Negara Singapura dengan luas wilayah sekitar 600 km2, memiliki jumlah penduduk sebesar 4,5 juta jiwa. Sebagian besar wilayah tersebut dipergunakan untuk bangunan pemukiman dan industri. Sebagai negara yang memiliki keterbatasan lahan, aktivitas di bidang pertanian on farm relatif sangat terbatas di Singapura. Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian negara relatif sangat kecil, yakni hanya sekitar 0,1 % dari keseluruhan PDB Singapura. Di Singapura, tanah merupakan aset yang sangat berharga. Sebuah negara kecil dengan luas hanya 710 km persegi menjadi rumah bagi 5 juta orang. Tidak mengherankan apabila Singapura terkenal dengan bangunan yang menjulang tinggi. Di sebuah pulau dengan kepadatan yang tinggi, dimana 93% makanan adalah impor, ide untuk membuat lahan pertanian di negara ini dapat dikatakan hampir tidak mungkin untuk dilakukan.
Lebih dari 90% dari produk pertanian yang dibutuhkan berasal dari negara lain (Malaysia, Thailand, China, Vietnam, Indonesia, dll), sisanya berasal dari produk pertanian domestik. Beberapa jenis sayuran/buah-buahan yang ditanam oleh petani setempat hanya cukup dijual untuk pasar domestik. Ketersediaan produk pertanian yang aman dan cukup, khususnya sayur dan buah-buahan, menjadi program yang sangat penting di Singapura. Hal ini mengingat tingginya angka konsumsi masyarakat setempat terhadap kelompok komoditas tersebut, yakni 72,3 kg/kapita/tahun untuk sayuran dan 85,7 kg/kapita/tahun untuk buah-buahan. Selain melalui aktivitas impor, pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat juga dilakukan melalui pengembangan kawasan atau areal pertanian baru yang disebut dengan Agrotechnology Park. Kawasan ini pada dasarnya merupakan hasil akhir dari pengembangan wilayah potensial dengan berbagai aktivitas pertanian yang terpadu dan dilengkapi dengan sarana infrastruktur (jalan, air, listrik) yang memadai. Secara hukum lahan di kawasan ini adalah milik pemerintah, sehingga bagi petani/pelaku usaha yang ingin mengusahakannya harus menyewa selama 10-30 tahun dengan luasan lahan masing-masing berkisar 2-30 hektar.
 Hingga saat ini terdapat 6 (enam) kawasan Agrotechnology Park di seluruh Singapura, masing-masing berlokasi di Lim Chu Kang, Murai, Sungei Tengah, Nee Soon, Mandai and Loyang. Total luas ke-enam kawasan pertanian tersebut mencapai 709 ha, yang terdiri dari 224 lahan (farm) yang diusahakan untuk pertanaman hortikultura (sayur-buah-tanaman hias), peternakan maupun perikanan. Dari total areal pertanaman seluas 96 ha tersebut diusahakan beberapa jenis tanaman, yakni adalah sayuran daun yang ditanam di lahan (70%), sayuran hidroponik (17%), buah (4%), jamur (7%) dan aneka kecambah (3%). Teknik budidaya sayuran daun sebagian besar dilakukan didalam screenhouse, yang dikenal sebagai protected cultivation, dengan sistem irigasi bertekanan dan penggunaan alsintan dalam penyiapan lahan. Pada sebagian kecil areal pertanaman juga digunakan teknik budidaya hidroponik maupun aeroponik.
Pada kebanyakan lahan pertanaman sayuran daun di dalam screenhouse dilengkapi dengan sistem irigasi bertekanan dengan menggunakan pipa yang dipasang di bawah atap bangunan. Sistem ini dikenal sebagai overhead water sprinkle, artinya air irigasi secara otomatis disiramkan/disemprotkan ke lahan pertanaman dari arah atas, bukan dari bawah seperti sistem irigasi sprinkler pada umumnya. Di beberapa di lokasi pertanaman milik swasta ini juga telah tersedia fasilitas gudang/packing house berpendingin sebagai bagian terpenting dalam penerapan sistem cold chain management. Didalam gudang ini dilakukan aktivitas pembersihan, sortasi dan pengepakan sayuran. Di gudang ini juga dilakukan salah satu tahap penting dalam cold chain management yang disebut pre-cooling yakni penempatan segera sayuran yang baru saja dipanen pada ruang pendingin (cold storage) bersuhu antara 6 - 9ยบ C sebelum dilakukan pengepakan. Tahap pre-cooling ini diyakini dapat memperpanjang usia segar (shelf life) sayuran dari rata-rata 9 hari menjadi 16 hari. Pelaku usaha ini juga telah memiliki sarana transportasi dengan container berpendingin, yang digunakan untuk mengirim sayuran dari lahan pertanaman ke supermarket atau pasar. Suhu didalam container tersebut dirancang tidak jauh berbeda dengan suhu di ruang penyimpanan.
Sebagaimana di negara lainnya, untuk menghasilkan produk sayuran yang aman dan berkualitas, petani Singapura juga telah menerapkan teknik budidaya yang baik dan benar (Good Agriculture Practices-GAP). Pedoman GAP di Singapura, dikenal sebagai GAP – Vegetable Farming Scheme (GAP-VF Scheme), beserta berbagai dokumen prosedur sertifikasinya telah diluncurkan oleh AVA pada tanggal 6 Pebruari 2004. Hingga saat ini terdapat 7 (tujuh) pelaku usaha (farm) yang telah memperoleh sertifikat tersebut. Setidaknya terdapat 5 (lima) aspek utama yang dipersyaratkan dalam penerapan GAP-VF Scheme tersebut, yakni :
      ·          Terjaganya kebersihan lingkungan pertanaman
·          Penyimpanan bahan kimia pertanian secara tepat
·          Penggunaan pupuk organik atau kompos
·          Penggunaan pestisida yang bersertifikatTenaga kerja lapangan yang terlatih
Selain semua sistem di atas di Singapura juga dikenal beerapa system pertanian, diantaranya yaitu :
1.        Sistem Vertikultur
   Dalam bahasa aslinya yakni Bahasa Inggris, arti "verticulture" gabungan dari dua suku kata, vertical dan culture. Secara umum memberikan pengertian vertikultur adalah budidaya tanaman dengan cara bertingkat atau bersusun, memanfaatkan ruang ke arah atas. Tujuan dari sistem ini tentu saja menghemat ruang dengan kemudahan beberapa variasi tanaman. Pengembangannya dapat dilakukan di lahan pekarangan rumah, dan tidak memerlukan tempat yang relatif luas. Sistem ini sangat cocok dikembangkan diwilayah perkotaan yang rata-rata penduduknya hanya memiliki luasan sisa lahan perumahan yang sempit. Syarat utama dari kehidupan tanaman adalah sinar matahari tercukupi, hal tersebut, satu hal lagi yang penting, sistem penanaman vertikultur ini sangat fleksibel penempatannya, selain mudah dan relatif murah (dibandingkan sistem tanam konvensional pada tanah) juga dianggap ramah lingkungan.
2.        Sistem Silvikultur
Silvikultur meliputi metode-metode untuk membangun dan memelihara komunitas pohon-pohon dan vegetasi lain yang mempunyai nilai bagi manusia. Silvikultur berkenaan dengan kontrol pembentukan, pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi hutan sesuai dengan tujuan pengelolaannya, dengan demikian maka Silvikultur didasarkan pada suatu ilmu dasar yang mempelajari interaksi tumbuhan dengan lingkungannya atau Silvika, sehingga perlakuan-perlakuan yang diberikan dalam praktek silvikultur akan selalu mengikuti prinsip dasar yang bersifat universal, sedangkan perlakuan silvikulturnya sendiri dapat bersifat lokal. Sistem Silvikultur terbangun oleh tiga ide utama (Matthews, 1989) :
a.   Metode regenerasi individu pohon dalam hutan
b.   Bentuk tegakan yang dihasilkan
c.   Susunan/komposisi tegakan di dalam hutan secara keseluruhan dengan melihat   pertimbangan pada silvikulturnya, perlindungannya dan efisiensi pemanenannya.
Maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa Silvikultur merupakan suatu ilmu untuk mengelola tegakan hutan melalui pengontrolan pembangunan tegakan, pertumbuhan dan komposisinya serta kualitas dari tegakan yang dihasilkan sesuai dengan tujuan pengelolannya yang telah ditetapkan sejak awal.  Agar tujuan pengelolaan tersebut dapat tercapai, maka diperlukan perlakuan yang terencana dan terprogram untuk seluruh siklus tebangnya mulai dari regenerasinya, pemeliharaan, monitoring pertumbuhan dan pemanenannya, yang terwadahi dalam satu sistem yaitu Sistem Silvikultur
3.        Sistem Holtikultur
Hortikultura berasal dari kata “hortus” (= garden atau kebun) dan “colere” (= to cultivate atau budidaya). Secara harfiah istilah hortikultura diartikan sebagai usaha membudidayakan tanaman buah-buahan, sayuran dan tanaman hias (Janick, 1972 ; Edmond et al., 1975), sehingga hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari budidaya buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Dalam GBHN 1993-1998 selain buah-buahan, sayuran dan tanaman hias, yang termasuk dalam kelompok hortikultura adalah tanaman obat-obatan. Ditinjau dari fungsinya, tanaman hortikultura dapat memenuhi kebutuhan jasmani sebagai sumber vitamin, mineral dan protein (dari buah dan sayur) serta memenuhi kebutuhan rohani, karena dapat memberikan rasa tenteram, ketenangan hidup dan estetika (dari tanaman hias/bunga).
Peranan hortikultura adalah : a). Memperbaiki gizi masyarakat, b) memperbesar devisa negara, c) memperluas kesempatan kerja, d) meningkatkan pendapatan petani dan  e) pemenuhan kebutuhan keindahan dan kelestarian lingkungan. Dalam membahas masalah hortikultura perlu diperhatikan pula mengenai sifat khas dari hasil hortikultura, yaitu : a). Tidak dapat disimpan lama, b) perlu tempat lapang (voluminous), c) mudah rusak (perishable) dalam pengangkutan, d) melimpah/meruah pada suatu musim dan langka pada musim yang lain dan e) fluktuasi harganya tajam (Notodimedjo, 1997). Setelah mengetahui manfaat serta sifat-sifatnya yang khas dalam pengembangan hortikultura agar dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam terhadap permasalahan hortikultura tersebut.
Hortikultura adalah komoditas yang masih memiliki masa depan relatif cerah ditilik dari keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya dalam pemulihan perekonomian Indonesia pada waktu mendatang, sehingga perlu mulai mengembangkannya sejak saat ini, sebagaimana  negara-negara lain yang mengandalkan devisanya dari hasil hortikultura, antara lain : Thailand dengan berbagai komoditas hortikultura yang serba Bangkok, Belanda dengan bunga Tulipnya, Nikaragua dengan pisangnya, bahkan Israel dari gurun pasirnya kini telah mengekspor Apel, Jeruk dan Anggur. Pengembangan hortikultura di Indonesia pada umumnya masih dalam skala perkebunan rakyat yang tumbuh dan dipelihara secara alami dan tradisional, sedangkan jenis komoditas hortikultura yang diusahakan masih terbatas. Apabila dilihat dari data selama Pelita V pengembangan hortikultura yang lebih ditekankan pada peningkatan keragaman komoditas telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, yaitu pada periode 1988 s/d 1992 telah terjadi peningkatan produktivitas sayuran dari 3,3 ton/ha menjadi 7,7 ton/ha dan buah-buahan dari 7,5 ton/ha menjadi 9,9 ton/ha (Amrin Kahar, 1994). Terjadinya peningkatan tersebut dapat dikatakan bahwa petani hortikultura merupakan petani yang responsif terhadap inovasi teknologi berupa : penerapan teknologi budidaya, penggunaan sarana produksi dan pemakaian benih/bibit yang bermutu. Tampak di sini bahwa komoditas hortikultura memiliki potensi untuk menjadi salah satu pertumbuhan baru di sektor pertanian. Oleh karena itu  pada masa yang akan datang perlu ditingkatkan lagi penanganannya terutama dalam era pasar bebas abad 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar